Valentine sebagai Fenomena Budaya
Oleh: Yswitopr | 14 February 2011 | 12:13 WIB
14 Februari dikenal sebagai hari kasih sayang. Entah kapan persisnya perayaan ini mulai mendunia. Ada banyak versi tentang asal muasal valentine. Valentine sebenarnya adalah seorang biarawan Katolik yang menjadi martir. Valentine dihukum mati oleh kaisar Claudius II karena menentang peraturan yang melarang pemuda Romawi menjalin hubungan cinta dan menikah karena mereka akan dikirim ke medan perang. Kekaisaran Romawi yang sedang berada dalam masa peperangan untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaan mereka merekrut banyak pemuda untuk dilatih menjadi tentara. Sang kaisar melihat tentara yang mempunyai ikatan kasih dan pernikahan bukanlah tentara yang bagus. Ikatan kasih dan batin dengan keluarga dan orang-orang yang dicintai hanya akan melembekkan daya tempur mereka. Oleh karena itu, ia melarang kaum pria Romawi menjalin hubungan cinta, bertunangan atau menikah.
Atas situasi seperti ini, Valentine tergerak untuk melakukan sesuatu. Secara diam-diam, pasangan-pasangan muda yang saling jatuh cinta itu dikumpulkan. Pasangan-pasangan itu mendapatkan renungan dari Valentina. Bahkan, Valentine memberi mereka sakramen pernikahan. Akhirnya aksi ini tercium oleh Kaisar. Valentine dipenjara. Oleh karena ia menentang aturan kaisar dan menolak mengakui dewa-dewa Romawi, dia dijatuhi hukuman mati. Atas peristiwa ini dan kisah mukjizat yang terjadi melalui perantaraan Valentine ketika sedang berada dipenjara [kesembuhan Julia, anak sipir penjara, dari kebutaannya] Paus Gelasius I menyatakan 14 Februari sebagai hari peringatan St. Valentine pada tahun 496.
Kebetulan, pada tanggal 14 Februari, bertepatan dengan perayaan Lupercalia, suatu perayaan orang Romawi untuk menghormati dewa Kesuburan Februata Juno. Dalam perayaan ini, orang Romawi melakukan undian seksual! Mereka memasukkan nama ke dalam satu wadah. Mereka mengambil secara acak nama lawan jenisnya. Nama yang didapat itu menjadi pasangan hidupnya selama satu tahun. Lalu pada perayaan berikutnya mereka membuang undi lagi. Demikian berjalan terus menerus setiap tahunnya. Atas praktek ini, Gereja bertindak. Perayaan Romawi kuno ini dibabtis dan diambil alih dengan diberi makna baru. Mulai saat itulah, perayaan 14 Februari berubah makna, dari upacara seksual menjadi perayaan kasih sayang dan menjadi festival tahunan. Dalam festival ini, pasangan kekasih atau suami istri Romawi mengungkapkan perasaan kasih dan cintanya dalam pesan dan surat bertuliskan tangan.
Tradisi romawi kuno yang telah diberi makna berbeda oleh Gereja ini terus berkembang. Di daratan Eropa tradisi ini berkembang dengan menuliskan kata-kata cinta dan dalam bentuk kartu berhiaskan hati dan dewa Cupid kepada siapapun yang dicintai. Atau memberi perhatian kecil dengan bunga, coklat, dan permen. Ketika zaman terus berkembang, praktek merayakan hari kasih sayang inipun terus berkembang. Ketika surat sudah dianggap tidak lagi praktis, muncullah kartu valentine. Kartu valentine modern pertama dikirim oleh Charles seorang bangsawan Orleans kepada istrinya, tahun 1415. Ketika itu dia mendekam di penjara di Menara London. Kartu ini masih dipamerkan di British Museum. Di Amerika, Esther Howland adalah orang pertama yang mengirimkan kartu valentine. Kartu valentine secara komersial pertama kali dibuat tahun 1800-an. Ketika zaman terus berubah, penggunaan kartu ucapan pun ikut tergerus. Kini, ucapan melalui foto atau sms lebih ngetrend di kalangan masyarakat. Berbagai jejaring sosial juga banyak digunakan untuk mengungkapkan perhatian dan kasih sayang kepada saudara, keluarga, atau sahabat. Simbol yang terus bertahan adalah penggunaan bunga mawar dan coklat untuk mengungkapkan kasih sayang.
Atas perayaan hari kasih sayang itu ada banyak tanggapan, entah menerima atau menolak. Penolakan-penolakan atas hari kasih sayang ini beraneka ragam. Ada sekelompok anak muda yang melakukan demo menentang perayaan hari kasih sayang. Ada pula yang menyebarkan slogan Sukseskan Gerakan Anti Perayaan Valentine di berbagai jejaring sosial. Salah satu alasan yang sering saya temukan adalah karena perayaan itu bisa menghancurkan aqidah. Rasa saya, pernyataan ini bisa ya atau bisa juga tidak. Semua ini tergantung dari mana kita memandangnya.
Ketika sebuah perayaan, apa pun itu, ketika sudah diterima oleh masyarakat secara luas maka perayaan itu pasti akan diberi pemaknaan baru. Bahkan, sejarah mula yang melatarbelakangi perayaan itu pun sudah dilupakan atau bahkan tidak dipedulikan lagi. Dengan demikian, perayaan itu [termasuk perayaan hari kasih sayang] sudah menjadi sebuah budaya baru dan pemaknaannya. Perayaan itu tidak lagi menajdi eksklusif miliki orang per orang atau lembaga tertentu. Perayaan itu sudah dianggap sebagai milik bersama.
Fenomena inilah yang menurut saya semakin lama semakin menghilang. Fenomena yang saya maksudkan adalah tercerabutnya budaya masyarakat. Berbagai budaya yang berkembang dicabut dari akarnya dan dikembalikan ekpada bentuk semula. Padahal budaya-budaya itu telah melalui proses yang panjang dan berliku serta terus mendapatkan pemaknaannya. Misalnya: merayakan valentine adalah tindakan musrik dan membahayakan aqidah karena berasal dari budaya romawi kuno. Tanggapan ini tidak salah karena sejarahnya memang demikian. Namun, perayaan valentine itu telah mengalami perubahan yang luar biasa seiring perkembangan zaman. Ini sudah abad modern, bukan lagi zaman romawi kuno. Ketika valentine menjadi pengingat bagi manusia untuk mengasihi dan menyayangi [suami kepada istrinya, orangtua kepada anaknya, dan seseorang kepada yang lain] dimana letak salahnya?
Memang, dalam prakteknya ada penyelewengan. Perayaan hari kasih sayang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan nafsu. Namun, ada banyak orang yang merayakan hari kasih sayang itu dengan tulus. Ada banyak orang yang menggunakan hari itu sebagai penanda dan sekaligus menjadi saat pembaharuan ikrar kasih yang telah sekian lama terjalin. Ini tentu menjadi tanda bahwa perayaan valentine telah menjadi sebuah fenomena budaya yang sama seali tidak ada kaitannya dengan ratusan tahun yang lalu. Kini, hari kasih sayang telah mendapatkan pemaknaan baru yang bisa diterima oleh setiap orang yang berpikiran luas.
Saya kadang merindukan masa kecil. Pada masa kecil itu, perayaan lebaran sungguh menjadi sebuah perayaan bersama seluruh masyarakat. Tidak pandang agamanya apa, semua bersilaturahmi dari rumah ke rumah dan saling bermaaf-maafan. Yang Muslim berkunjung kepada tetangganya yang non Muslim dan sebaliknya. Sama sekali tidak ada yang mempersoalkan ini tradisi dari mana. Situasi ini justru semakin menumbuhkan dan mengakarkan makna persaudaraan sejati. Kini?
Sumber : http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2011/02/14/valentine-sebagai-fenomena-budaya/
Minggu, 03 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar