Minggu, 10 Juni 2012

Sunda Land

Sejarah Melayu, Teori Sundaland dan Naskah Wangsakerta Menurut Teori Antropologi, Bangsa Melayu berasal dari percampuran dua bangsa, yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Proto Melayu adalah ras Mongoloid, diperkirakan bermigrasi ke Nusantara sekitar tahun 2500-1500 SM, kemungkinan mereka berasal dari daerah : Provinsi Yunnan di selatan Cina, New Guinea atau Kepulauan Taiwan. Sementara Bangsa Deutero Melayu berasal dari dataran Asia Tengah dan Selatan, yang datang ke Nusantara pada sekitar tahun 300 SM. Diperkirakan kedatangan Deutero Melayu membawa pengaruh budaya India yang kuat dalam sejarah Nusantara dan Asia Tenggara. Proto Melayu dan Sundaland Sebagaimana kita pahami bersama, setelah terjadi Peristiwa Bencana Nabi Nuh pada sekitar tahun 11.000 SM (13.000 tahun yang lalu), semua peradaban di bumi hancur dan yang tinggal hanya Keluarga Nabi Nuh beserta pengikutnya. Sekelompok pengikut Nabi Nuh yang selamat, kemudian membangun peradaban di kawasan Sundaland. Di kemudian hari, di sekitar Sundaland menjadi sebuah Pusat Peradaban, yang dikenal sebagai Peradaban Atlantis. Pada sekitar tahun 9.600 SM, menurut catatan Plato, Peradaban Atlantis ini hancur dilanda banjir. Penduduk Atlantis berpencar ke seluruh penjuru bumi. Mereka kemudian menjadi leluhur bangsa-bangsa di Asia Timur, seperti ras Mongoloid dan Altai (Sumber : Menyoal Asal-usul Identitas Bangsa Melayu dan Patung Sphinx, Bukti Arkeologis Bencana Nuh 13.000 tahun yang silam). Setelah situasi di Nusantara dirasakan cukup tenang, ada sekelompok kecil dari bangsa Atlantis yang mulai “pulang kampung”. Dan pada puncaknya, mereka datang dalam jumlah besar, pada sekitar tahun 2.500 SM – 1.500 SM. Mereka ini kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu. Teori Out of Sundaland Keberadaan Peradaban di Sundaland, dikemukakan Profesor Aryso Santos dari Brasil, melalui bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Di dalam bukunya itu, Profesor Santos menyatakan, Sundaland adalah benua Atlantis, yang disebut-sebut Plato di dalam tulisannya Timeus dan Critias. Sebelumnya pada tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku berjudul,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Secara singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland pernah menjadi suatu kawasan berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, dan para penghuninya mengungsi ke mana-mana (out of Sundaland), yang pada akhirnya menurunkan ras-ras baru di bumi. Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan permukaan laut dengan menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland. Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir terjadi. Kenaikan permukaan laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi. Dukungan bagi hipotesis Oppenheimer (1998), datang dari sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya, melalui jurnal berjudul “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008, yakni pada makalah berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008). Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland, yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland. Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya permukaan laut di wilayah ini, dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur (New Guinea dan Pasifik), dan ke barat (daratan utama Asia Tenggara), terjadi dalam masa sekitar 10.000 tahun yang lalu. Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E (Note : mungkin yang dimaksud haplogroup O), yang merupakan komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania, pada sekitar 8.000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 14.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini (Sumber : mail-archive). Peta Sebaran Gen di Asia Tenggara, diambil dari L. Jin et. al Migrasi Deutero Melayu menurut Naskah Wangsakerta Setelah selama ribuan tahun Bangsa Proto Melayu mendiami Nusantara. Pada sekitar tahun 300 SM, datang bangsa pendatang, yang dikemudian hari dikenal dengan nama Deutero Melayu. Teori Migrasi Deutero Melayu, ternyata bukan berasal dari Sejarawan Barat (Belanda), seperti NJ. Krom, Eugene Dubois, JG. de Casparis dan sebagainya, melainkan berasal dari seorang sejarawan Nusantara, yang bernama Pangeran Wangsakerta, beliau diperkirakan hidup pada pertengahan abad ke-17M. Melalui Naskah Wangsakerta, beliau menuturkan Silsilah Aki Tirem (Sesepuh masyarakat Salakanagara, pada abad 1 Masehi), sebagai berikut : “Aki Tirem putera Ki Srengga putera Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer putera Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang putera Datuk Waling putera Datuk Banda putera Nesan” Selanjutnya ia menulis, leluhur Aki Tirem bernama Aki Bajulpakel berdiam di Swarnabumi (Sumatera) bagian Selatan, kemudian Datuk Pawang Marga berdiam di Swarnabumi bagian Utara dan Datuk Banda berdiam di Langkasungka India. Dari penyelusuran Genealogy di atas, nampak jelas bahwa jalur migrasi bangsa Deutero Melayu, adalah bermula dari tanah India, lalu memasuki Nusantara melalui Swarnabumi (Sumatera) dan kemudian menuju ke pulau Jawa (Sumber : Teori Antropologi “Migrasi Deutero Melayu”, ditemukan Panembahan Tohpati, Sejarawan Nusantara abad ke-17M). Keragaman leluhur penduduk Nusantara, semakin diperkaya dengan kehadiran keturunan Nabi Ibrahim, dari Dinasti Pallawa yang dikenal sebagai Dewawarman I (Sumber : (Connection) Majapahit, Pallawa dan Nabi Ibrahim ?). Di kemudian hari Dewawarman I menjadi penguasa di Salakanagara, dan menikah dengan anak Aki Tirem, yang bernama Pohaci Larasati. Sumber: http://kanzunqalam.wordpress.com/2011/03/09/sejarah-melayu-teori-sundaland-dan-naskah-wangsakerta/

Minggu, 03 Juni 2012

Fenomena Budaya

Valentine sebagai Fenomena Budaya Oleh: Yswitopr | 14 February 2011 | 12:13 WIB 14 Februari dikenal sebagai hari kasih sayang. Entah kapan persisnya perayaan ini mulai mendunia. Ada banyak versi tentang asal muasal valentine. Valentine sebenarnya adalah seorang biarawan Katolik yang menjadi martir. Valentine dihukum mati oleh kaisar Claudius II karena menentang peraturan yang melarang pemuda Romawi menjalin hubungan cinta dan menikah karena mereka akan dikirim ke medan perang. Kekaisaran Romawi yang sedang berada dalam masa peperangan untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaan mereka merekrut banyak pemuda untuk dilatih menjadi tentara. Sang kaisar melihat tentara yang mempunyai ikatan kasih dan pernikahan bukanlah tentara yang bagus. Ikatan kasih dan batin dengan keluarga dan orang-orang yang dicintai hanya akan melembekkan daya tempur mereka. Oleh karena itu, ia melarang kaum pria Romawi menjalin hubungan cinta, bertunangan atau menikah. Atas situasi seperti ini, Valentine tergerak untuk melakukan sesuatu. Secara diam-diam, pasangan-pasangan muda yang saling jatuh cinta itu dikumpulkan. Pasangan-pasangan itu mendapatkan renungan dari Valentina. Bahkan, Valentine memberi mereka sakramen pernikahan. Akhirnya aksi ini tercium oleh Kaisar. Valentine dipenjara. Oleh karena ia menentang aturan kaisar dan menolak mengakui dewa-dewa Romawi, dia dijatuhi hukuman mati. Atas peristiwa ini dan kisah mukjizat yang terjadi melalui perantaraan Valentine ketika sedang berada dipenjara [kesembuhan Julia, anak sipir penjara, dari kebutaannya] Paus Gelasius I menyatakan 14 Februari sebagai hari peringatan St. Valentine pada tahun 496. Kebetulan, pada tanggal 14 Februari, bertepatan dengan perayaan Lupercalia, suatu perayaan orang Romawi untuk menghormati dewa Kesuburan Februata Juno. Dalam perayaan ini, orang Romawi melakukan undian seksual! Mereka memasukkan nama ke dalam satu wadah. Mereka mengambil secara acak nama lawan jenisnya. Nama yang didapat itu menjadi pasangan hidupnya selama satu tahun. Lalu pada perayaan berikutnya mereka membuang undi lagi. Demikian berjalan terus menerus setiap tahunnya. Atas praktek ini, Gereja bertindak. Perayaan Romawi kuno ini dibabtis dan diambil alih dengan diberi makna baru. Mulai saat itulah, perayaan 14 Februari berubah makna, dari upacara seksual menjadi perayaan kasih sayang dan menjadi festival tahunan. Dalam festival ini, pasangan kekasih atau suami istri Romawi mengungkapkan perasaan kasih dan cintanya dalam pesan dan surat bertuliskan tangan. Tradisi romawi kuno yang telah diberi makna berbeda oleh Gereja ini terus berkembang. Di daratan Eropa tradisi ini berkembang dengan menuliskan kata-kata cinta dan dalam bentuk kartu berhiaskan hati dan dewa Cupid kepada siapapun yang dicintai. Atau memberi perhatian kecil dengan bunga, coklat, dan permen. Ketika zaman terus berkembang, praktek merayakan hari kasih sayang inipun terus berkembang. Ketika surat sudah dianggap tidak lagi praktis, muncullah kartu valentine. Kartu valentine modern pertama dikirim oleh Charles seorang bangsawan Orleans kepada istrinya, tahun 1415. Ketika itu dia mendekam di penjara di Menara London. Kartu ini masih dipamerkan di British Museum. Di Amerika, Esther Howland adalah orang pertama yang mengirimkan kartu valentine. Kartu valentine secara komersial pertama kali dibuat tahun 1800-an. Ketika zaman terus berubah, penggunaan kartu ucapan pun ikut tergerus. Kini, ucapan melalui foto atau sms lebih ngetrend di kalangan masyarakat. Berbagai jejaring sosial juga banyak digunakan untuk mengungkapkan perhatian dan kasih sayang kepada saudara, keluarga, atau sahabat. Simbol yang terus bertahan adalah penggunaan bunga mawar dan coklat untuk mengungkapkan kasih sayang. Atas perayaan hari kasih sayang itu ada banyak tanggapan, entah menerima atau menolak. Penolakan-penolakan atas hari kasih sayang ini beraneka ragam. Ada sekelompok anak muda yang melakukan demo menentang perayaan hari kasih sayang. Ada pula yang menyebarkan slogan Sukseskan Gerakan Anti Perayaan Valentine di berbagai jejaring sosial. Salah satu alasan yang sering saya temukan adalah karena perayaan itu bisa menghancurkan aqidah. Rasa saya, pernyataan ini bisa ya atau bisa juga tidak. Semua ini tergantung dari mana kita memandangnya. Ketika sebuah perayaan, apa pun itu, ketika sudah diterima oleh masyarakat secara luas maka perayaan itu pasti akan diberi pemaknaan baru. Bahkan, sejarah mula yang melatarbelakangi perayaan itu pun sudah dilupakan atau bahkan tidak dipedulikan lagi. Dengan demikian, perayaan itu [termasuk perayaan hari kasih sayang] sudah menjadi sebuah budaya baru dan pemaknaannya. Perayaan itu tidak lagi menajdi eksklusif miliki orang per orang atau lembaga tertentu. Perayaan itu sudah dianggap sebagai milik bersama. Fenomena inilah yang menurut saya semakin lama semakin menghilang. Fenomena yang saya maksudkan adalah tercerabutnya budaya masyarakat. Berbagai budaya yang berkembang dicabut dari akarnya dan dikembalikan ekpada bentuk semula. Padahal budaya-budaya itu telah melalui proses yang panjang dan berliku serta terus mendapatkan pemaknaannya. Misalnya: merayakan valentine adalah tindakan musrik dan membahayakan aqidah karena berasal dari budaya romawi kuno. Tanggapan ini tidak salah karena sejarahnya memang demikian. Namun, perayaan valentine itu telah mengalami perubahan yang luar biasa seiring perkembangan zaman. Ini sudah abad modern, bukan lagi zaman romawi kuno. Ketika valentine menjadi pengingat bagi manusia untuk mengasihi dan menyayangi [suami kepada istrinya, orangtua kepada anaknya, dan seseorang kepada yang lain] dimana letak salahnya? Memang, dalam prakteknya ada penyelewengan. Perayaan hari kasih sayang disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan nafsu. Namun, ada banyak orang yang merayakan hari kasih sayang itu dengan tulus. Ada banyak orang yang menggunakan hari itu sebagai penanda dan sekaligus menjadi saat pembaharuan ikrar kasih yang telah sekian lama terjalin. Ini tentu menjadi tanda bahwa perayaan valentine telah menjadi sebuah fenomena budaya yang sama seali tidak ada kaitannya dengan ratusan tahun yang lalu. Kini, hari kasih sayang telah mendapatkan pemaknaan baru yang bisa diterima oleh setiap orang yang berpikiran luas. Saya kadang merindukan masa kecil. Pada masa kecil itu, perayaan lebaran sungguh menjadi sebuah perayaan bersama seluruh masyarakat. Tidak pandang agamanya apa, semua bersilaturahmi dari rumah ke rumah dan saling bermaaf-maafan. Yang Muslim berkunjung kepada tetangganya yang non Muslim dan sebaliknya. Sama sekali tidak ada yang mempersoalkan ini tradisi dari mana. Situasi ini justru semakin menumbuhkan dan mengakarkan makna persaudaraan sejati. Kini? Sumber : http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2011/02/14/valentine-sebagai-fenomena-budaya/